Kamis, 28 April 2011

KIAI DAN BAMBU RUNCING

KIAI DAN BAMBU RUNCING,
MENGUNGKAP PERAN SEJARAH KIAI DAN BAMBU RUNCING PADA MASA PERANG KEMERDEKAAN (KAJIAN SEJARAH LESAN)
Drs. H. Anasom M.Hum[1]

A.          LATAR BELAKANG
Membaca buku-buku sejarah seperti karya Sartono Kartodirjo Dkk, Sejarah Nasional Indonesia[2],  Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900[3], M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern[4], Kuntowijoyo dengan bunya  Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia[5] , AM Suryonegoro, Menemukan Sejarah[6], dan juga Api Islam yang terbaru, dan buku-buku lain tentang sejarah nasional yang lain, sebenarnya  arti penting tentang sejarah perjuangan menuju kemerdekaan terasa sudah mencukupi. Sepertinya semua telah mendapatkan perhatian untuk ditulis.
Namun menjadi ironis ketika mencermati lebih dalam tentang andil umat Islam dalam merebut kemerdekaan yang secara khusus beleum mendapat porsi perhatian yang baik, terutama terkait tentang sejarah Kiai dan Bambu Runcing. Buku-buku sejarah di atas ternyata belum memberikan perhatian secara khusus dalam kajian di dalamnya. Bahkan menjadi lebih ironis lagi termasuk buku-buku yang memang ditulis dengan tema Sejarah Islam atau khazanah keislaman juga tidak menyinggung tentang bambu runcing. Para kiai yang terlibat intensif membakar semangat perjuangan ternyata juga belum mendapat perhatian untuk di tulis. Departemen Agama sebenarnya juga telah menerbitkan buku 3 jilid tentang tokoh-tokoh Islam di Indonesia dalam buku Intelektualisme di Indonesia , namun ternyata tokoh-tokoh yang terkait dengan perjuangan dengan alat bambu runcing belum ada yang di tulis.
Padahal dalam berbagai pembicaraan seringkali orang menyebut kehebatan perjuangan bambu runcing, baik yang terkait dengan perjuangan di wilayah Jawa Tengah seperti peristiwa Ambarawa, maupun yang berskala nasional Pertempuran Surabaya yang di pimpin oleh Bung Tomo tidak lepas dari semangat bambu runcing. Bahkan monumen-monumennya sampai sekarang juga sudah di buat, di Surabaya ada tugu Bambu Runcing, di Parakan ada Pondok Pesantren Bambu Runcing. Namun ternyata belum ada kajiaan penelitian yang secara komprehensip terhadap khazanah Islam ini.
Siapa yang pertama kali membuat bambu runcing sebagai senjata perang, tidak jelas sekali. Bambu runcing adalah sebatang bambu berkisar panjangnya kurang lebih dua meter yang dibuat runcing pada salah satu ujung atau kedua ujungnya. Peralatan yang sederhana ini, ternyata pada masa perang kemerdekaan telah menjadi senjata massal yang pakai rakyat dalam melawan penjajah.
Walaupun tidak sangat jelas siapa memulai dengan senjata sederhana ini untuk perang,  melawan perlengkapan lawan yang sudah canggih. Namun Temanggung, atau tepatnya adalah Parakan salah satu wilayah di kabupaten Temanggung telah sangat berjasa membesarkan dan menambah kisah heroisme senjata Bambu Runcing. Pada zaman perang kemerdekaan dulu rakyat datang berbondong-bondong ke kota kecil ini untuk minta berkah do’a dari Kiai Subchi, kiai kharismatik yang memiliki karomah yang luar biasa. Doa-doanya mampu memompa semangat rakyat untuk melawan musuh dengan sangat luar biasa.
KH. Syaifuddin Zuhri mengisahkan: “Berbondong-bondong barisan-barisan Lasykar dan TKR menuju ke Parakan,………. Diantaranya yang paling terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan KH. Masykur. “Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia” di bawah pimpinan Bung Tomo,  “Barisan Banteng” dibawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman dan masih banyak lagi. Sudah beberapa hari ini baik TKR maupun badan-badan kelasykaran berbondong-bondong menuju ke Parakan……”.[7]
Inilah sepenggal kesaksian seorang kiai yang langsung mengalami peristiwa, dan Kiai Saefuddin Zuhri juga mengantar beberapa tokoh penting (KH. A Wahid Hasyim, KH. Zainul Arifin, KH. Masykur dan RM Wongsonegoro yang saat itu menjabat sebagai gubernur Jawa Tengah dan bahkan Jendral Sudirman) datang dan berdialog dan minta doa kepada Kiai Subkhi yang saat itu sering di temani oleh Kiai Nawawi dan Kiai Mandzur.
Puluhan dan bahkan ratusan ribu orang yang datang ke Parakan mereka kebanyakan membawa senjata Bambu Runcing, tujuan utama mereka adalah memohon berkah doa yang secara khusus untuk pergi memanggul senjata melawan musuh.  Oleh sebab sangat bangganya dengan kisah bambu runcing yang heroik tersebut kota Surabaya telah membuat sebuah monument Bambu Runcing yang berdiri tegak di tengah kota di Jalan Jendral Sudirman.  Monumen ini melambangkan semangat arek-arek Suroboyo sewaktu melawan penjajah. Senjata yang mereka pakai waktu itu hanyalah bambu runcing. Karena kegigihannya maka Kota Surabaya dapat bebes dari Penjajahan Belanda[8].
Tidak hanya Surabaya yang telah menjadikan Bambu Runcing sebagai monumen, Kabupaten Sleman juga membuat sebuah monumen Bambu Runcing, Tugu dengan  bentuk padma pada puncaknya, di bagian latar belakang terdapat tugu bentuk dua buah Bambu Runcing  berdampingan. Di sebelah kiri dan kanan tugu terdapat prasasti  yang berisi nama-nama pahlawan yang gugur dan prasasti peresmian oleh KGPAA Pakualam VIII pada tanggal 15 Januari 1987[9].
Walaupun kebanggaan terhadap Bambu Runcing yang diwujudkan dalam bentuk mengabadikan dalam bentuk monument, namun ternyata sejarah Bambu Rucing sendiri belum banyak ditulis orang. Padahal sejarah yang sama yang pernah terjadi sudah banyak ditulis orang. Sejarah nasional Indonesia memang sudah banyak ditulis baik oleh sejarawan asing maupun sejarawan Indonesia, demikian juga sejarah kronik yang secara khusus menkaji periodisasi tertentu. Misalnya sejarah pergerakan, Sejarah modern Islam, Islam pada zaman Jepang, Islam pada masa konstituante, Islam pada masa kolonial dan sebagainya. Namun belum ada yang secara khusus meneliti tentang sejarah perjuangan dengan bambu runcing. Tidak jelas benar mengapa peristiwa sejarah bambu runcing belum menarik minat sejarawan untuk menulis peristiwa tersebut.
Kurangnya minat menulis Sejarah Bambu Runcing ini mengakibatkan kisah heroisme diseputar mempertahankan kemerdekaan terasa ada yang kurang. Mungkin bisa jadi orang beralasan bahwa, bambu runcing hanyalah sekadar alat perang yang sederhana, sehingga tidak ada sesuatu yang menarik, namun sebenarnya sejarah bambu runcing tidak sesederhana alat perang saja. Sejarah Bambu Runcing, juga sejarah peran Islam Peasntren, sejarah Islam dan nasionalisme, Sejarah lasykar Rakyat, sejarah Hizbullah, Sabilillah, bahkan juga sejarah TKR. Dan khususnya bagi masyarakat Temanggung erat sekali dengan wadah perjuangan mereka yakni BMT (Barisan Muslimin Temanggung).

B. RUMUSAN MASALAH
            Oleh sebab skup pengaruh perjuangan dengan bambu runcing ini sangat luas dan bahkan berskala nasional, juga di dasari oleh kepentingan fokus penelitian, maka penelitian ini tidak akan mengkaji keseluruhan. Penelitian ini akan memfokuskan kepada lokalitas di mana asal mula bamboo runcing tersebut di buat yakni di kota Parakan Kabupaten Temanggung. Penelitian ini akan memfokuskan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut :
  1. Siapa pencetus gerakan perjuangan dengan senjata bambu runcing?
  2. Apa yang melatar belakangi terciptanya senjata bambu runcing?
  3. Siapa saja yang pernah terlibat dalam perjuangan dengan menggunakan senjata bambu runcing?
  4. Adakah peninggalan-peninggalan sejarahnya, dalam bentuk apa dan di mana?
E. METODE  PENELITIAN DAN SUMBER
1. SUMBER
Sebagai sebuah penelitian sejarah, penelitian ini akan menggunakan sumber sejarah baik dalam bentuk buku, dokumen, situs, arsip dan sebagainya. Namun dengan metode sejarah lesan, maka tokoh yang terlibat dan terkait dengan sejarah bambu runcing akan menjadi sumber penting dan utama. Siapa tokoh-tokoh tersebut? Mereka adalah orang-orang yang mengalami, orang-orang yang tahu, dan orang-orang yang dekat dengan tema penelitian ini.
2. METODE
2. METODE
Metode dalam penelitian ini semula menggunakan Metode Sejarah lesan saja. Namun muncul kendala dilapangan, karena sedikitnya informan yang masi dapat mengingat dengan baik peristiwa bambu runcing. Sehingga metode sejarah tulis, dan metode sejarah lesan digunakan dalam penelitian ini.
Metode Sejarah meliputi  empat tahapan[10], yaitu :
1. Heuristik (pencarian sumber)
Tahap ini merupakan tahap pertama yang harus dilakukan dalam merekonstruksi masa lampau. Sumber-sumber itu tidak datang dengan sendirinya oleh karena itu, sumber harus dicari dan dikumpulkan. Ketika kita akan merekonstruksi masa lampau, kita harus melakukan pencarian sumber, dalam pencarian sumber perlu diketahui mengenai jenis-jenis sumber. Sumber dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber tertulis (dokumen, arsip, surat, buku, koran), sumber benda (foto, makam, mesjid), dan sumber lisan.Berdasarkan asal-usulnya, sumber dapat dibagi menjadi tiga (dua yang utama), yaitu sumber primer (pelaku, saksi), sumber sekunder (orang yang tidak sezaman dengan peristiwa), dan sumber tersier (karya ilmiah).
Penelusuran sumber-sumber ini dapat dilakukan di tempat yang memungkinkan seperti, perpustakaan, arsip nasional/daerah, museum, dan dokumen pribadi atau lembaga. Tentu saja, sumber yang dicari di tempat-tempat tersebut harus berkaitan dengan masa lampau yang hendak direkonstruksi.
2. Kritik (pemilahan sumber)
Tahap berikutnya adalah kritik atau pemilahan sumber. Sumber yang dicari dan dikumpulkan kemudian dipilah. Ada dua aspek yang harus dilihat dari sebuah sumber ketika sumber itu akan dipilah. Pertama, adalah kritik eksternal atau pemilahan berdasarkan keaslian sumber. Untuk menentukan keaslian sumber, dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti melihat material sumber tersebut apakah sesuai dengan zamannya atau tidak, jika sesuai maka sumber tersebut kemungkinan besar merupakan sumber asli. Kedua adalah kritik internal atau pemilahan berdasarkan kredibilitas (tingkat kepercayaan). Pemilahan ini dapat dilakukan dengan menentukan kemauan dan kemampuan sumber dalam menyampaikan kebenaran. Jadi, dalam pemilahan kredibilitas harus dilihat dari kompetensi dan kejujuran sumber.
3. Interpretasi (penafsiran fakta)
Setelah sumber dikumpulkan dan dipilah, langkah selanjutnya adalah menafsirkan sumber. Namun, sebelumnya sumber yang telah dikumpukan dan dipilah harus mendapat dukungan dari sumber lain atau koroborasi, sehingga sumber tersebut menjadi fakta sejarah. Setelah ditemukan fakta sejarah, kemudian ditafsirkan sehingga setiap fakta yang ada akan terangkai dalam suatu cerita utuh yang sudah tentu kronologis. Perlu dipahami juga, penafsiran yang dilakukan dalam tahap ini tidak bebas tetapi harus sesuai dengan fakta lain yang ada.
4. Historiografi (penulisan sejarah)
Inilah tahap terakhir dalam metode sejarah, yaitu historiografi. Pada tahap ini, setiap fakta yang telah ditafsirkan kemudian dirangkai menjadi suatu kesatuan utuh. Hal yang harus diperhatikan adalah urut-urutan waktu kejadian. Dalam historiografi, urut-urutan waktu kejadian menjadi suatu keharusan sehingga karya yang dihasilkan sejarawan itu rapi, sesuai dengan urutan waktu tidak acak-acakan.
Sedankan tiga langkah kerja dalam metode sejarah lesan, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pembuatan indeks dan transkripsi[11]. Berikut adalah penjelasan singkatnya :a. Tahap persiapan
Tahap ini merupakan tahap awal dari tiga tahapan sejarah lisan. Pada tahapan ini, kegiatan yang harus dilakukan peneliti adalah, menentukan topik yang menarik, dan sesuai dengan kemampuan peneliti, kemudian setelah topik dipilih, peneliti menentukan pemahaman masalah bisa dengan studi pustaka atau melalui internet sebagai pengetahuan awal sebelum meneliti. Langkah selanjutnya adalah perumusan masalah, setelah pejajakan awal, maka dibuat kerangka permasalahan yang diteliti yang diwujudkan dalam kendali wawancara atau daftar pertanyaan.
Langkah selanjutnya adalah mencari narasumber dan membuat daftar narasumber. Setelah memiliki daftar narasumber untuk diseleksi. Setelah diseleksi, saatnya membuat janji dengan narasumber mengenai kapan dan dimana wawancara dilakukan, sebelumnya pengenalan lapangan sangat penting demi hasil wawancara yang baik, selain itu pengenalan alat rekam juga menentukan kualitas rekaman.
b. Tahap pelaksanaan
Sebelum memulai wawancara, peneliti diharuskan untuk membuat label wawancara. Label wawancara meliputi, nama pengkisah, nama pewawancara, tanggal dan tempat wawancara, waktu wawancara dan topik atau judul penelitian.  Setelah label dibuat, maka wawancara dapat dilaksanakan. Pertama adalah pembukaan, sebelum mengajukan pertanyaan ini, ada baiknya dilakukan pembukaan yang baik dengan misalnya menanyakan kabar pengkisah atau pertanyaan-pertanyaan umum lainnya. Tujuannya adalah untuk menimbulkan suasana keakraban diantara pengkisah dengan pewawancara, sehingga diharapkan pengkisah nyaman dengan wawancara tidak seperti diinterogasi.
Dalam melakukan wawancara, pewawancara juga harus memiliki catatan kecil untuk menulis pertanyaan-pertanyaan baru yang ditanyakan sesuai dengan jawaban pengkisah. Pertanyaan ini membuat wawancara semakin luas. Setelah semua pertanyaan dijawab dan tidak ada pertanyaan baru, maka wawancara ditutup. Wawancara hendaknya tidak lebih dari satu setengah jam, karena lebih dari itu wawancara tidak lagi kondusif. Wawancara diakhiri dengan label penutup sama seperti label pembuka tetapi tentu jamnya akan berbeda. Setelah label selesai, surat penyataan harus ditandatangani oleh pengkisah sebagai bukti bahwa wawancara benar-benar telah dilakukan.
c. Tahap pembuatan indeks dan transkripsi
Indeks dibuat untuk mempermudah penggunaan hasil sejarah lisan. Indeks sama halnya dengan daftar isi pada sebuah buku. Disamping itu, transkripsi juga perlu dibuat untuk memudahkan penggunaan hasil sejarah lisan, tujuannya untuk membuat orang lain atau pengguna hasil sejarah lisan dapat menggunakannya dengan mudah. Oleh karena itu, transkripsi dilakukan sesuai dengan apa yang terdengar dalam alat perekam.

F. HASIL PENELITIAN

BJ. Boland mengatakan walaupun terjadi berbagai ketegangan dalam kurun waktu antara tahun 1945 dan 1950 karena berbagai kepentingan, namun dapat disifatkan sebagai suatu periode yang secara relatif memiliki persatuan-dalam-perjuangan[12]. Tujuan utama setiap orang, juga bagi kalangan Islam, adalah membela kemerdekaan dan kebebasan menghadapi musuh ber­sama dari luar. Dalam perasaan kaum Muslimin, perjuangan untuk kemerdeka­an pblitik ini sekaligus merupakan perjuangan untuk kemerdekaan Islam. Kita sudah mengutip penjelasan bagaimana pada bulan Oktober 1944 pimpinan Masyumi,mendorong para anggotanya "untuk menyiapkan kaum Muslimin bagi kemerdekaan tsegerinya dan agamanya"." Demikian pulalah makanya perjuangan kemerdekaan antara tahun 1945 dan 1950 dirasakan oleh kaum Muslimin sebagai perjuangan untuk negerinya dan agamariya itu. Sejak bulan Qktober 1945, Nahdatul Ulama sudah mengeluarkan suatu resolusi mengenai jihad, yang harus dipandang sebagai fatwa yang sah dari para ulama[13]. Untuk menguraikan masalah tentang perang kemerdekaan dalam tulisan ini akan di uraikan dalam beberapa point sebagai berikut: Proklamasi, Merebut Kekuasaan dan menegakkan kadaulatan Proklamasi, Menyusun Pertahanan dan Keamanan.

  1. PROKLAMASI
                Ada hal menarik terjadi saat mencari waktu untuk pelaksanaan proklamasi, selama ini yang terdengar sampai kepada generasi sekarang adalah peristiwa penculikan, namun ternyatatanggal 17 Agustus 1945 merupakan hasil konsultasi Soekarno kepada para ulama. A.M Suryonegoro mengatakan bahwa sebelum proklamasi Soekarno datang menemui beberapa ulama 1. Syekh Moesa seorang ulama yang sudah berumur 80 tahun di daerah Sukanegar Cianjur Selatan. 2. K.H Abdul Mukti dari Madiun dan 3. KH. Hasyim Asy’ari Tebu Ireng.  Para Ulama ini adalah tokoh-tokoh berpengaruh dari Ormas Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.  Tetapi bung Karno juga dating konsultasi kepada Drs. Sosro kartono kakaknya R.A Kartini. Kemantapan datangnya kemerdekaan semakin jelas dan konsultasi kepada para kiai  dan tokoh menjadi daya penguat Soekarno untuk memerdekakan Indonesia pada tanggal 17 Agustus[14].  Bahkan menurut Soekarno seperti yang di ceritakan Cindy Adam, menuturkan gagasan pemilihan tanggal 17 , karena angka 17 sebagai tanggal keramat. Al-Qur’an diturunkan pada 17 Ramadan, dan bung Karno sholat setiap harinta 17 rakaat[15].

  1. MEREBUT KEKUASAAN DAN MENEGAKKAN KADAULATAN PROKLAMASI
Walaupun Proklamasi telah di bacakan, kemerdekaan sudah di raih oleh bangsa Indonesia, namun bukan berati semua telah berakhir dan damai. Persoalan dan tantangan berat justru mengahadang di depan mata. Harus di ingat bangsa Indonesia yang merdeka di proklamasikan dalam keadaan perebutan antara Jepang dan tentara sekutu. Jepang yang selama ini memegang kekuasaan pemerintahan di Indonesia walaupun telah menyerah kepada sekutu, tidak serta merta merelakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan mereka mengancam akan menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada sekutu. Jepang sendiri tetap saja merasa masih memiliki kadaulatan di Indonesia. Realitas menunjukkan bahwa yang memiliki segalanya kantaor, senjata, alat negara  dan sebagainya adalah pemerintah Jepang. Itulah sebabnya AH Nasution menjelaskan tantangan apa yang harus segera menghadang para pejuang:  Pemberontakan harus selesai sebelum tentara Sekutu sampai di Indonesia. Kekuasaan militer dan sipil harus kita pegang sebe­lum Sekutu mendarat dan mengadakan timbang-terima dengan Jepang. Pemberontakan massa di seluruh tanah air, itulah per­soalan yang menjadi fikiran dan usaha pada tahap-tahap berikut. Waktu tidak lama lagi dan sudah satu minggu terpakai untuk mempersoalkan proklamasi saja. Bukankah pada hakekatnya pada tanggal 10 Agustus 1945 radio Tokyo sudah menyiarkan kesediaan Jepang untuk menyerah, bahkan seminggu sebelumnya dengan secara rahasia sudah disampaikan kesediaannya menyerah itu?..........”[16].

Anthony J.S.Reid menjelaskan bahwa setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tidak serta merta bebas dari belenggu penjajah Jepang saat itu. Belum lagi masuknya kekuatan asing lain yang masuk ke wilayah Indonesia. Masa perjuangan awal kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi diwarnai dengan berbagai pertempuran dan bentrokan antara pemuda-pemuda Indonesia melawan aparat kekuasaan Jepang. Tujuannya adalah untuk merebut kekuasaan dan memperoleh senjata. Di berbagai daerah terjadi pertempuran. Pergolakan yang terjadi terus meletus tidak hanya di pusat kekuasaan (Jakarta), tetapi terus melebar dan meluas di berbagai daerah lannya yang tidak hanya melawan penjajah Jepang, namun melakukan perlawanan kepada siapapun yang menghalang-halangi kemerdekaan Indonesia[17].
Pada era pendudukan Jepang di Indonesia, melalui organisasi Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (MASJUMI), para ulama ber-syiyasah agar memiliki angkatan perang yang terlatih, maka minta pada pemerintah Jepang untuk diperkenankan membentuk pasukan Hizbullah. Agar maksud itu dikabulkan, dengan alasan untuk membantu Bala Tentara Jepang dalam melawan Sekutu. Pihak Jepang yang memang pada saat itu sedang banyak kekalahan di front perang, maka usul para ulama itu dikabulkan, maka dibentuklah secara resmi Hizbullah, tangal 14 September 1944 di Jakarta ( Suara Muslimin, “Hizbullah”,No.23. 15 Desember 1944). Sebagai pasukan Lasykar Hizbullah permulaan diambil dari para pemuda Islam dari beberapa daerah di Indonesia, kemudian dilatih kemiliteran di Cibarusa, dan kemudian ditugasi untuk membentuk Lasykar Hizbullah di daerahnya maning-masing, termasuk juga di daerah Jogjakarta. Lasykar Hizbullah kemudian berkembang pesat, dan menjadi kekuatan bersenjata umat Islam bangsa Indonesia untuk kemerdekaan & mempertahankan NKRI[18].
Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia ( Masjumi ) sebagai lembaga resmi persaudaraan-permusyawaratan-persatuan Umat Islam, untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang di dalamnya terdapat kumpulan tokoh dan organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdlotul Ulama (NU), Persis, Al Wasliyah, dan sebagainya. Dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, selain melalui organisasi juga diperlukan persiapan perang pisik, sehingga telah direncanakan punya lasykar sendiri[19].
Terdesaknya Jepang oleh Sekutu dan kemudian membuat pernyataan membolehkan bangsa Indonesia mempersiapkan kemerdekaannya, kesempatan ini digunakan oleh Masjumi untuk membentuk lasykar Hizbullah, yang diharapkan untuk menghimpun pemuda Islam yang belum terorganisir ( Kahar Moedzakir, "Hizbullah" dalam Suara Muslimin, No.1, 1 Djanuari 1945, hlm.6). Dalam rapat Masjumi tanggal 14 September 1945, yang dihadiri oleh antara lain : KH.Hasyim'Asj'ari, KH. Faried Ma'ruf, Harsono Tjokroaminoto, Zainoel Arifin, KH.Wahid Hasjim, S.O. Soemaatmadja, KH.Masjkoer, KHM. Dachlan, Mohammad Ma'some, dan Moehammad Roem. ( A. Yazid, "Susunan Pengurus Masjumi", dalam Suara Muslimin,15 Djanuari 1945, hlm.13 ), diputuskan untuk membentuk Badan Perjuangan dengan nama HIZBULLAH, yang artinya tentara Allah swt[20].
Dalam rapat itu juga diputuskan bahwa agar di setiap daerah juga didirikan Hizbullah, yang diharapkan dapat kerja-sama dengan kepala pemerintah sebagai "Pernyatan pengorbanan dan kebaktian Umat Islam" ( Kahar Moedzakkir, "Hizbullah" dalam Suara muslimin,No. 23, 15 Desember 1944, hlm. 25). Namun secara rahasia para tokoh Islam juga mempunyai tujuan jangka panjang yaitu untuk melawan pemerintah Jepang yang semakin lemah[21].
Perjuangan mempertahankan proklamasi mendapatkan legitimasi agama, melalaui berbagai fatwa ulama. Sebenarnya pada tahun-tahun setelah proklamasi dalam perjuangan semesta tersebut banyak sekali melibatkan para kiai dan umat Islam melalui berbagai organisasi Islam dan Pondok Pesantren. Bahkan tanpa gerakan semesta ini memang akan sangat sulit mencapai keberhasilan maksimal.  Para ulama secara serentak memimpin berbagai kelasykaran yang pernah ada, berbagai fatwa muncul tentang penting mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Setelah mencermati berbagai sumber sejarah, ternyata fatwa tentang pentingnya gerakan bersama mengusir penjajah terjadi dalam serangkaian Resolusi yang saling mendukung satu sama lain. Gelora merebut kekuasaan pemerintahan dan merebut senjata dari musuh menjadi isu yang sangat kuat dari berbagai fatwa ulama tersebut. Fatwa-fatwa ini penulis kaji secara detail, mengingat fatwa ini pula yang memicu penyepuhan Bambu Runcing di Parakan. Fatwa-fatwa para ulama itu terkenal dengan istilah resolusi Jihad. Oleh karena ternyata Resolusi Jihad terjadi beberapa kali, maka dalam kajian ini di kaji semua secara kronologis.
A.    Resolusi Jihad 1
Sejarah mencatat, meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, 53 hari kemudian NICA (Netherlands Indies Civil Administration) nyaris  mencaplok kedaulatan RI. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pasukan itu dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby, panglima brigade ke-49 (India). Penjajah Belanda yang sudah hengkang pun membonceng tentara sekutu itu. Praktis, Surabaya genting. Untung, sebelum NICA datang, Soekarno sempat mengirim utusan menghadap Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada Mbah Hasyim, “Apakah hukumnya membela tanah air? Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela Alquran. Sekali lagi, membela tanah air?” Mbah Hasyim yang sebelumnya sudah punya fatwa jihad kemerdekaan bertindak cepat. Dia memerintahkan KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syamsuri, dan kiai lain untuk mengumpulkan kiai se-Jawa dan Madura. Para kiai dari Jawa dan Madura itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dipimpin Kiai Wahab Chasbullah pada 22 Oktober 1945[22].
Pada 23 Oktober 1945, Mbah Hasyim atas nama Pengurus Besar NU mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu.
Pertama, setiap muslim - tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia.
Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada.
Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati[23].
Jadi, umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar salat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu). Fatwa jihad yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio. Keruan saja, warga Surabaya dan masyarakat Jawa Timur yang keberagamaannya kuat dan mayoritas NU merasa terbakar semangatnya. Ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah -seperti ditulis M.C. Ricklefs (1991), mengalir ke Surabaya. Perang tak terelakkan sampai akhirnya Mallaby tewas[24].
Dalam sejarah, bahwa para kiai dan santrinya kemudian banyak yang bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah yang terbentuk sebagai respon langsung atas resolusi jihad tersebut. Kelompok ini kemudian banyak berperan penting dalam peristiwa 10 Nopember. Komandan tertinggi Sabilillah sendiri adalah K.H. Masykurdan Komandan Tertinggi Hizbullah adalah Zainul Arifin. Diperkuat juga oleh Barisan Mujahidin yang dipimpinan langsung oleh Kiai Wahab Hasbullah[25] .

B.     Resolusi Jihad 2
Resoloesi jihad di atas, pada saat terbentuknya Partai Islam Indonesia Masjoemi di Yogyakarta 7-8 November 1945,  Rabu Pon, 1 Dzuthijjah 1364, menjadi Resoloesi Djihad dari Moe'tamar Oemmat Islam Indonesia. Antara lain:
Bahwa tiap2 bentoek pendjadjahan adalah soeatoe kezaliman jang melanggar perikemanoesiaan dan njata2 diharamkan oleh Agama Islam, maka 60 Miljoen I<aoem Moesiimin Indonesia Slap B+erdjihad Fi Sabillllah. Perang Di djalan Allah Oentoek MenentangT'iap-tiap Pendjadjahan. 1"
Memperkoeat pertahanan Negara Indonesia dengan berbagai oesaha, maka disoesoenlah soeatoe barisan jang diberi nama: Barisan Sabilillah, dibawah pengawasan Masjoemi.
Barisan ini adalah menjadi Barisan Istimewa dari Tentara Keamanan Rakjat - T.K.R.
Keputusan Moe'tamar Oemmat Islam Indonesia di bidang organisasi kesenjataan di kalangan Ulama dengan nama Barisan Sabilillah di atas, 7 November 1945, Rabu Pon, 1 Dzulhijjah 1364 sebagai kelanjutan dari telah terbentuknya 68 Batalyon Tentara Pembela Tanah Air - Peta, 3 Oktober 1943, dan 400.000 Barisan Hizboellah - Tentara Allah, September 1943, pada masa Pendudukan Balatentara Djepang 1942-1945 M[26].

Keputusan Moe’tamar Oemat Islam tersebut di tindak lanjuti dalam bentuk instruksi-instruksi pembentukan lascar. Sebagai contoh Barisan Sabilillah menyerukan seperti di muat pada Koran Kedaulatan Rakyat No. 38 sebagai berikut “oentoek mendjlankan konggres Oemat Islam Indonesia d Jogjakarta pada tg. 1-2 Dzoelhidjah 1364 (7-8/11/1945) dalam mana di tegaskan bahwa:
1.      Memperkoeat oemat Islam oentoek berjihad fi sabilillah
2.      Memperoeat pertahanan Negara Indonesia dengan berbagai-bagai oesaha, maka di soesoenlah suatu barisan yang diberi nama: Barisan Sabilillah dibawah pengawasan Masjumi, jg peratoerannja sbb:
1.      Hal anggota:
Jang menjadi anggota Barisan ini ialah Oemat Islam
2.      Hal Pimpinan
Poesat Pimpinan Barisan ini bernama: Markas Besar Sabilillah jang terdiri dari 5 orang antaranya seorang ahli siasah, 2 orang ahli agama, dan 2 orang ahli peperangan[27].

Intstruksi lanjut dari keputusan tersebut adalah pembentukan Barisan Sabilillah di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa barat.  Dan di lanjutkan pementukan pada tiap kabupaten dan barisan ini di nyatakan sebagai barisan Istimewa dari TKR (Tentara Keamanan Rakyat)[28].
            Dalam sebuah rapat umat Islam yang di hadiri 12.000 umat Islam di alun-alun Kotawinangun Kebumen tanggal 5 Desember 1945, juga ada fatwa KH. Mahfudz Abdurrahman Sumolangu Kebumen dalam pidatonya: “ Kita umat Islam telah siap sedia menyusun kekuatan yang akan kita pakai  untuk melawan musuh…..dan terhadap siapapun yang terang membantu musuh-musuh kita tidak akan kita beri ampun lagi, mereka harus terusir semua dari Indonesia bersama-sama  musuh, jika tidak akan habislah riwayatnya.”  Dari rapat ini musncul sumpah perjuangan yang menjadi pemompa semangat, “ Lebih baik mati syahid dari pada diperbudak kembali”. Rapat ditutup dengan takbir dan doa untuk kemenangan dan keabadian kemerdekaan Indonesia[29].

C.    Resolusi Jihad 3
Khoirul Anam menjelaskan dalam salah satu artikel, di tengah tekanan Belanda itu NU menyelenggarakan muktamar yang pertama setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Muktamar ke-16 itu diadakan di Purwekortopada 26-29 Maret 1946. Salah satu keputusan pentingnya, NU menyetuskan kembali Resolusi Jihad yang mewajibkan tiap-tiap umat Islam untuk bertempur mempertahankankemerdekaan Indonesia yang saat itu berpusat di Yogyakarta. Kewajiban itu dibebankan kepada setiap orang Islam, terutama laki-laki dewasanya, yang berada dalam radius 94 km dari tempat kedudukan musuh. (Radius 94 diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjamak dan menqoshor sholat). Di luar radius itu umat Islam yang lain wajib memberikan bantuan[30]

3. MENYUSUN PERTAHANAN DAN KEAMANAN
Sesudah keputusan rapat PPKI tanggal 22 Agustus, pada tanggal 23 Agustus Presiden Sukarno dalam pidato radionya me­nyatakan berdirinya tiga badan baru yaitu: Komite Nasional lndo­wsia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Keaman­arr Rakyat (BKR). BKR ini akan bertugas sebagai penjaga ke­amanan umum di daerah-daerah di bawah koordinasi KNI daerah. Susunan pimpinan BKR Pusat adalah Kaprawi, (Ketua Umum), Sutalaksana (Ketua I), dan Latief Hendraningrat (Ketua II) dengan dibantu oleh Arifin Abdurrachman, Mahmud dan Zulkifli Lubis. Mereka meng­adakan kontak-kontak dengan para bekas opsir KNIL di Jakarta - Bandung dan pimpinan BKR daerah Jawa Timur (Drg. Moestopo), Jawa Tengah (Soedirman), Jawa Barat (Arudji Karta­winata)[31].
Sebagian lagi dari para pemuda Indonesia, yakni yang pada jaman Jepang telah membentuk kelompok-kelompok politik yang besar peranannya dalam mencetuskan Proklamasi, tidak puas dengan BKR. Mereka menginginkan dibentuknya tentara na­sional. Setelah usul mereka mengenai pembentukan tentara nasi­onal "ditolak" oleh Presiden dan Wakil Presiden, mereka me­nempuh jalan lain. Mereka membentuk badan-badan per­juangan yang kemudian menyatukan diri dalam sebuah Komite van Aksi, yang bermarkas di Jalan Menteng 31 di bawah pim­pinan Adam Malik, Sukarni, Chairul Saleh, Maruto Nitimihardjo, dan lain-lain. Badan-badan perjuangan yang bernaung di bawah Komite van Aksi adalah Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Rakyat Indonesia (BARA) dan Barisan Buruh Indonesia (BBI). Badan-badan perjuangan lainnya kemudian dibentuk di seluruh Jawa seperti Barisan Banteng, Kebaktian Rakyat Indo­nesia Sulawesi (KRIS), Pemuda Indonesia Maluku (PIM), Hiz­bullah, Sabilillah, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), dan lain-lain sebagai­nya; juga ada badan perjuangan yang bersifat khusus seperti kesatuan-kesatuan pelajar (Tentara Pelajar atau TP, Tentara Genie Pelajar atau TGP clan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP).Pembentukan badan-badan perjuangan itu tidak terbatas di Jawa melainkan juga di Sumatra, Sulawesi dan pulau lainnya[32].

A.    PROSES PENYEPUHAN BAMBU RUNCING
Bambu runcing adalah sebatang bambu berkisar panjangnya kurang lebih dua meter yang dibuat runcing pada salah satu ujung atau kedua ujungnya. Peralatan yang sederhana ini, ternyata pada masa perang kemerdekaan telah menjadi senjata massal yang pakai rakyat dalam melawan penjajah. Siapa mengawali pemakaian Bambu Runcing sebagai senjata massal rakyat, apakah berasal dari Parakan, atau dari daerah lain. Tetapi yang jelas pada masa perang kemerdekaan senjata tradisional banyak sekali di gunakan untuk perang melawan senjata-senjata modern. Bambu Runcing pada masa Jepang juga sudah di gunakan. Menurut sumber sejarah pada masa Jepang mengadakan pelatihan-pelatihan untuk para anak-anak, remaja dan pemuda dalam Senendan, senjata yang di pakai untuk latihan antara lain senjata bambu runcing. 
Bagaimana proses penyepuhan Bambu Runcing oleh para kiai di Parakan? Jika membaca sumber-sumber dan para pelaku sejarah cukup banyak versi dan variasi.  Variasi ini terkait banyak hal seperti siapa yang mengawali penyepuhan Bambu Runcing? Doa apa yang di bacakan? Siapa yang membacakan doa, dan bagaimana proses penyepuhan di lakukan. Rumit dan banyaknya variasi tersebut memang sangat dimungkinkan terjadi. Hal tersebut disebabkan karena memang terlalu banyaknya orang yang berbondong-bondong datang ke Parakan. Berbagai sumber baik yang tertulisan maupun sumber lisan penelitian ini membuktikan hal tersebut. Istakhori menyatakan hamper 10.000 orang tiap hari datang selama masa pasca proklamasi[33]. Hal yang sama di katakan oleh para pelaku Sejarah antara lain Rahmat Imam Puro[34], salah seorang santri KH. Ali, sangat banyak orang yang datang dan dari berbagai penjuru tanah air, tidak hanya sekitar Temanggung. Karto Supono salah seorang pelaku sejarah dari daerah Sumowono juga menceritakan banyaknnya orang datang untuk minta doa kepada para Kiai di Parakan[35].  Oleh sebab cukup rumit pada bagian ini peneliti hanya memaparkan berbagai sumber sebagaimana apa adanya. Secara teoritik sebagai kajian sejarah hal seperti ini menjadi sangat mungkin terjadi.
1.   KH. SYAIFUDDIN ZUHRI[36]
Didorong oleh semangat "Jihad fi Sabilillah" untuk mempertahankan tiap jengkal Tanah air, dan didasarkan atas kasih sayang kepada anak-anak dan cucu-cucunya, Kyai Subeki memberikan bekal berupa do'a kepada anak-anak "Hizbullah" maupun "Sabilillah" Parakan. Sebelum mereka berangkat ke pertempuran, sambil berbaris dengan bambu runcingnya masing-masing, mereka di"berkahi" oleh Kyai Subeki dengan Do'anya:
Bismillahi,
Ya Hafidzu, Allahu Akbar!
Dengan Nama Allah,
Ya Tuhan Maha Pelindung, Allah Maha Besar!
Ternyata, setelah memperoleh do'a dari Kyai Subeki anak-anak ini mempunyai kebulatan hati yang tak tergoyah­kan menuju pertempuran, dan mempunyai ketabahan untuk bertawakkal kepada Allah S.W.T. dengan keberanian serta keikhlasan. Demikianlah tiap anak-anak Parakan hendak berangkat menuju pertempuran, mereka meminta do'a Kyai Subeki…………..
Seruan "Allahu Akbar" terus menggema di lorong-lorong, jalan di kota kecil Parakan. Laskar-lasykar perjuangan membanjiri kota di kaki "Gunung Penganten" Sundoro-Sumbing ini. Dataran tinggi yang udaranya sejuk di hari akhir-akhir ini menjadi hangat dan bahkan terasa panasnya karena semangat tinggi yang berkobar-kobar dari orang­-orang yang siap sedia "mati syahid". Mereka datang membanjiri Parakan untuk men-"Sabilillah"-kan bambu runcing dan karaben-karaben mereka dengan do'a Kyai Subeki.
Siang maupun malam mereka membanjiri Parakan. Keletihan karena menempuh perjalanan jarak jauh di zarnan "republik" yang penuh dengan 1001 macam kesulitan tidak mereka hiraukan. Mereka menjadi puas, sangat puas setelah pulang dari Parakan. Hatinya menjadi tenteram dalam semangat tinggi untuk hertempur melawan musuh yang hendak merobek-robek Republik Indonesia. Mereka telah mencari sesuatu, dan sesuatu itu telah mereka tentukan. Dengan bambu runcing, karaben, golok-golok dan mitraliur yang telah di "Sabilillah"kan di Parakan. jiwa mereka menjadi teguh, berangkat ke pertempuran-pertempuran untuk membela dan mempertahankan tiap jengkal. Tanah ­air. Mereka menjadi sadar untuk apa mereka pergi ke medan pertempuran, dan merekapun sadar pula untuk tujuan apa mereka ini mengikhlaskan pengorbanannya, bukan cuma tenaga dan hartanya, tetapi jika perlu juga nya­wanya sekalipun.

2.   KH. ISTAKHORI SAM’ANI
Saat itu di kota Temanggung terdapat kekuatan tentara Jepang sebanyak.1 Compi dengan senjata lengkap, yang berkedudukan di Alun-Alun Mungseng dan di gudang seng serta sebagian di sekolahan Banyu ta­rung dipimpin oleh Yamakawa seorang Perwira dai Nip­pon yang kejam.
Para Pemuda Laskar Bambu Runcing (Hisbullah) yang dipimpin oleh Komandan Sulaiman Basyir, beserta ­BKR selalu siap siaga mencegah kendaraan yang lewat terutama kendaraan Jepang untuk digeledah yang memungkinkan membawa senjata. Setelah keadaan tersebut berlangsung berulang - kali kejadian, terjadilah duel/perkelahian antara Hisbullah, BKR dan AMRI, disatu pihak melawan tentara Jepang. Disatu pihak melawan tentara Jepang sebanyak 9­ orang yang sedang gluyur (sobo) di kota Parakan dan kota Ngadirejo. Dalam perkelahian ini 3 orang Serdadu Jepang telah tewas, sedang yang 6 orang melarikan diri ke Gunung Sindoro, mayat ketiga orang Jepang tadi kemudi­an dikubur dikuburan Batuloyo muka Kantor Kecamatan Parakan.
Kejadian tersebut sangat mengkhawatirkan para Pemuda kita yang akan,dimungkinkan akan adanya pembalasan dari tentara Jepang di kota Temanggung yang bersenjata ­lengkap itu. Para pemuda merasa panik dan ketakutan, kemudian berbondong-bondonglah para Anggota Hisbullah BKR datang menghadap K.H. Subeki (78 tahun) yang dianggap sebagai sesepuh di Parakan untuk dimohon Gemblengan dan­ Wejangan, seterusnya Pemuda-Pemuda dan orang-orang tua mendengar jika di Parakan diadakan gemblengan rohani ternyata daerah-daerah diluar Kabupaten Temanggung te­rus-menerus berbondong-bondong memerlukan datang meng­hadap kepada Mbah KH. Subeki dengan berjalan, naik truk terbuka dan Pemerintah menyediakan Kereta Api Lu­ar Biasa (KLB).
Naik kereta api sampai penuh sesak dan menaiki­ diatas kereta api sampai gerbong panjang sekali seper­ti ular bergerak. Orang-orang tersebut tidak khawatir kereta api. terbalik, tetapi alhamdulillah Slamet tidak ada kecelakaan­ dijalan, kemudian sampai Parakan menghadap mbah KH. Subeki sampai antri sepanjang jalan Kauman, jalan jetis kulon.
Adapun menurut Buku Catatan + 10.000 tiap hari (tiap satu harinya) selama 1 tahun karena yang datang­ ke Parakan para waktu itu sampai Pemuda-Pemuda dalam Pulau Jawa - Madura, dan banyak sekali dari Luar Jawa. Pada waktu itu kota Parakan : Pagi, Siang, Malam seperti Pasar Malam, bahkan seperti di Mekah, karena antrinya panjang sekali seperti para Jama'ah Haji di waktu Thowaf.
Peranan Alim Ulama’ ternyata menyumbangkan moral yang sangat kuat berguna bagi para pejuang kemerdekaan. Setelah itu beberapa Alim Ulama’ telah memberikan do’a-do’a dan wejangan-wejangan kepada para pejuang, beberapa orang Kyai yang memiliki keahlian khusus membantu mbah KH. Subeki untuk melayani permintaan do’a. Meniupkan do’a keujung Bambu Runcing yang disodorkan, tetapi syaratnya berat, daintaranya pada saat itu pemuda Istachori Syam’ani (20 tahun) sudah digembleng dahulu oleh KH. Somogunardo, digembleng khusus diakamar beliau, dan digembleng oleh K. Muhammad Ali. Pemuda Istachori Syam’ani diharuskan berendam dikolam (Blumbang) masjid jami’ Parakan, dengan membaca ayat alqur’an surat Al-an’am ayat 103 dibaca 313 kali.
Dengan menyelam dikolam masjid kauman, selama membaca ayat alqur’an tersebut merendam jam 01.00 Wib malam dan pemuda Istachori Syam’ani diberi ijazah oleh KR Somogunardo, meniupkan dipucuk Bambu Runcing (ujung) dengan membaca ayat alqur’an surat al-anfal ayat 17 dibaca 3 kali tanpa bernafas.
Wejangan-wejangan, fatwa-fatwa dan do’a-do’a dari KH Subeki. Sebelum wejangan-wejangan para khadirin dituntun membeca syahadatain. Adapun gemblengan dan wejangan sebagai berikut, mbah KH Subeki memberi Amanat dan Wejangan, antara lain sebagai berikut.
Tentara Belanda akan kembali menjajah Negara dan bangsa Indonesia lagi, dan akan datang di daerah kita, dan memaksa pada kita supaya menyerah kepada Belanda. Tetapi hai pemuda-pemuda jangan takut kepada Belanda, kita berjuan melawan Belanda dengan senjata Bambu Runcing yang diberi do’a, insyaAllah Belanda takut dan pergi dari bumi Indonesia, maka kita harus ingat:
a.                   Bahwa mati dan hidup itu ditangan Tuhan Allah
b.                   Dengan nama Allah, kita mohon pertolongan
c.                    Dengan tuhan Allah kita mohon perlindungan, setelah itu mereka juga diberi do’a-do’a oleh KH Subkhi yang lafadznya berbunyi berikut.
1.                   Bismillahi Biaunillahi 3x
2.                   Allohu Ya Khafidzu  3x
3.                   Allohu Akbar  3x
4.                   Ilahanna ya sayyidina anta maulana ‘alal qoumil kafirin


3.   KH. MUHAIMINAN GUNARDO
Bapak Kyai R. Sumomihardho, yang nama kecilnya Abu Hasan R. Gunardho, mula-mula menyuruh H. Abdurrahman bin Subchi, yang terkenal pula dengan nama H. Baghowi, memanggil pemuda-pemuda desa Parakan Kauman. Yakni Ikhsan, dan Abu Dzar. Sunaryo dan Suroyo. Kemudian kedua pasang pemuda ini diperintahkan mencari bambu "Wulung" untuk dibuat bambu runcing. Setelah didapatkan dari Prawirorejo Dukuh Jetis Parakan maka bambu tersebut ditebang tepat pada waktu matahari mulai agak condong ke barat. Tepatnya para hari. Selasa Kliwon jam 12.00 WIB bulan Oktober 1945, saat bedug Dhuhur mulai berbunyi. Kemudian dibawa langsung ke rumah KR. Sumo mihardho untuk diberi do’a atau disepuh, agar ada tuahnya yang kemudian dapat dijadikan senjata untuk melawan musuh.
Beberapa hari kemudian datang Abu Yazid. Kemudian diperintahkan pula agar mengajak teman-temannya mencarikan bambu untuk diberi do'a. Sementara bagi pemilik bambu runcing ada persyaratan. Yakni jika bambu runcing itu telah diberi do’a atau disepuh, maka tidak boleh dilangkahi. Sebab sangat berbahaya.
Pada hari Selasa Wage pemuda-pemuda Parakan Kauman sowan minta ijazah do'a dan gemblengan. Maka didawuhi seperti tersebut di atas, yakni agar supaya pada hari Selasa Kliwon datang dengan membawa bambu runcing. Maka pada hari Selasa Kliwon yang telah ditentukan pemuda-pemuda tersebut menghadap dengan membawa bambu runcing kerumah kediaman Ki Sumoamihardho, di Kauman Parakan untuk minta disepuhi diberi do' a.
Pemuda itu di antaranya adalah:  Abu Yazid bin KH. Abdurrahman, Anwani, Nurdin, Chawari,  Supri, Ismail, Suharto, Ikhsan,Subani, Abu Dhar, Mat Bando’I, Istakhori      , Sunaryo , Jamil, Suroyo,Nur Salim dan lain-lain.
Istachori ini pemuda yang pertama kali dipanggil masuk ke dalam kamar, dan diberi nasihat serta wejangan. Karena dia satu-­satunya pemuda yang hafal Al-Qur-an.
Dari golongan tua di antaranya: H. Abdurrahman bin KH. Subchi, Mat Dayar, Sahid Baydhowi, H. Mukri/ H. Sampun Bajangan, Harjo Jumali Bajangan.
Semua, baik pemuda maupun orang tua berjumlah kurang lebih 40 orang. Kemudian datang juga pemuda dan orang-orang tua dari Kauman, Ngempon, Kenteng Sari, Jogo Mertan, Coyudan, Jetis, Salaman dan sekitar Parakan membawa bambu runcing untuk minta disepuh. Pada hari Jum'at Khwon berikutnya berdatangan pula orang-orang untuk meminta berkah dan penyepuhan bambu runcing, yang jumlahnya sudah mencapai ratusan orang. Bahkan pada hari Selasa Kliwon berikutnya sudah tidak dapat dihitung lagi mereka yang datang, balk siang maupun malam. Selain membawa Bambu Runcing, ada pula yang membawa tombak, lentes, keris, dan senjata-senjata lain untuk mendapatkan, berkah atau disepuh.

B.     TEMPAT PENYEPUHAN
Menurut KH. Muhaiminan:
Kegiatan penyepuhan yang semula di kediaman KR. Sumo­mihardho tidak lagi dapat menampung orang-orang yang sowan meminta barokah penyepuhan bambu runcing. Kernudian dipin­dahkan ke gedung BMT. Yakni pindah ke rumah bah Teguh yang dijadikan gedung BMT. Ternyata dengan pemindahan kegiatan ke tempat baru tersebut pengikut semakin melimpah. Tidak saja dari Kabupaten Temanggung, melainkan datang dari daerah sekitar. Jumlahnya sudah sukar untuk dihitung, banyak sekali. Mengingat banyaknya para tamu yang tidak mungkin bisa dilayani sendirian, maka Bapak KR. Sumomihardho mengadakan pertemuan (musyawarah) dengan para kyai di rumah Bapak KH. Abdurrahman, Karang Tengah Parakan. Yang hadir adalah para kyai yang berilrnu khikmah, di antaranya: KH. Mandhut dari Kauman Temanggung, KH. Subchi, KH. Abdurrahman, K. Ali dan KR. Sumomihardho sendiri.
Pertemuan para kyai tersebut mengundang banyak orang untuk turut mendengarkan dan mengerumuni para kyai, sehingga musyawarah diadakan dalam sebuah kamar. Pada musyawarah tersebut berhasil memutuskan:
1.                   KH. Abdurrahman memberi asma' nasi diberi gula pasir (nasi manis) untuk kekebalan.
2.                   K. Ali memberi asma' air berani (banyu wani) untuk keberanian dan menghilangkan kecapaian.
3.                   KH. Subchi memberikan do'a:
بسم لله بعون لله x3 الله ياحفيظx3  الله اكبر x3                                            
 (Bismillah hi bi a'unillah 3 x. Allahu ya hafizhu 3x. Allahu Akbar 3 x)
4.                   KR. Sumomihardho seperti biasa menyepuh bambu runcing, memberikan petuah dan do'a-do'a dan sebagainya. Begitulah putusan musyawarah yang merupakan pembagian kerja di antara para kyai.
Orang-orang yang datang ke kantor BMT menyepuhkan bambu runcing pergi ke KH. Abdurrahman meminta nasi manis, kemudian pergi ke KH. Ali meminta air wani, kemudian ke KH. Subchi meminta do'a. Begitulah kesibukan perjalanan para pendatang. Tugas-tugas semakin banyak dan mendesak, dan akhirnya dapat diselesaikan juga berkat pembagian tugas tersebut. Perkembangan penyepuhan semakin ramai, tugas-tugas semakin banyak, persoalan-persoalanpun semakin banyak dan beragam. Itulah yang menjadi dasar para pengurus BMT kembali mengadakan musyawarah yang memutuskan:
1.                   KR. Abdurrahman mengasma'i nasi manis di rumah ke­diamannya. Setelah selesai nasi manis dibawa di gedung BMT untuk diberikan kepada para pendatang.
2.                   K. Ali begitu juga mengasma'i air wani di rumah kediamannya kemudian air wani tersebut setelah diberi asma' dibawa ke gedung BMT untuk dibagikan.
3,   KH. Subchi datang ke gedung BMT memberikan do'a dan wejangan, terus kemudian memimpin mereka     berdo'a bersama hingga sampai masuk ke ruang penyepuhan.
3.                   KR. Sumomihardho di gedung BMT memberikan sepuhan bambu runcing dan lain-lain.
4.                   K.Ali dan KH. Nawawi menghadap ke KH. Siradj, Payaman Magelang dan ke KH. Dalhar, Watucongol Muntilan guna minta berkah pengestu. KH. Siradj, Magelang memberikan tambahan do' a setelah seperti tersebut, dengan bacaan:
(Ilahana ya sayyidana Anta maulana wanshurna alal qaumil Kafirin 3 x).
KH. Dalhar Watucongol memberikan do'a:
(Allah hafidhun qadimun azaliyyun hayyun Qoyyumun wala yamut 3 x)  pagi dan sore.

Menurut KH. Istakhori:
Hari Selasa Kliwon Jam: 12.00 Wib Siang Tanggal 30 Oktober 1945 saat berlangsungnya bedug drandang karena waktu saat itu waktu mustajab dan Bambu Runcing­nya mencari Bambu Runcing Wulung. Untuk mengerjakan memberi doa ke pucuk Bambu Runcing sudah dikumpulkan terus dilaksanakan dimuka rumah K.R. Somogunardo sesudah itu karena tempatnya tidak mencukupi orang-orang dan para Pemuda-Pemuda semakin hari semakin banyak yang datang untuk minta doa ditiupkan  Bambu Runcingnya.
Selanjutnya pindah bekas rumahnya Bah Mono (Bangsa Tiong Hwa) di jalan Masjid Kauman Parakan, karena rumah tersebut digunakan Markas dan Kantor Barisan Muslimin Temanggung (BMT) atau Barisan Bambu Runcing. Para Pemuda-Pemuda dan Orang-Orang tersebut jika sesu­dah Bambu Runcingnya diberi doa kemudian mendatangi rumahnya K.H. Abdurrachman, keperluan minta nasi manis ­guna menambah kekuatan fisik, dan selanjutnya mendata­ngi rumahnya K. Muhammad Ali untuk minta air berani, guna bekal keberanian menghadapi tentara Belanda yang bersenjata lengkap, dan air tersebut asal mulanya mengambil air di sumber Gunung Jaran (kuda) di desa Mergo­wati Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung.
Selanjutnya air tersebut dibawa pulang oleh K. Muhammad Ali air tersebut dicampur air bersih sumur belakang rumahnya K. Mohamad Ali sebelah timur Pondok Pesantren Zaidatul Ma’arif Kauman Parakan.
Karena rumah mbah KH Abdurrahman dan K Muhammad Ali juga tidak cukup, selanjutnya melayani pejuang-pejuang tersebut menjadi satu gedung Barisan Muslimin Temanggung (BMT) Jalan masjid Kauman Parakan. Bapak KR Somogunardo menyepuh Bambu Runcing kewalahan, maka Bapak KR Somogunardo menunjuk pemuda-pemuda yang sudah hafidz Al-qur’an 30 juz yaitu: K Zainal Abidin A.H (Al-Hafidz), K Istachori Syam’ani A.H (Al-Hafidz), K Fakhrurozi A.H (Al-Hafidz), K Irja’I A.H (Al-Hafidz)

C.     BAMBU RUNCING DALAM  INGATAN PELAKU
1.      Kyai Nuruddin (Veteran)
Menurut Kyai Nuruddin bergabung dengan tentara Hizbullah Parakan pada tahun 1948 M. Bahwa Kyai Subkhi merupakan tokoh yang berperan menyuntikkan api semangat kepada rakyat Indonesia khususnya di daerah Parakan untuk berperang melawan penjajah Belanda dengan cara bermujahadah dan menyepuh Bambu Runcing.
Bagi para kyai atau tamu yang masih kuat untuk berperang secara langsung, maka diadakan latihan fisik untuk menambah kekuatan secara lahiriyah sedangkan untuk yang sudah tidak kuat fisiknya maka diajak bersama-sama untuk bermujahadah meminta perlindungan dari Allah.
Begitu terkenalnya Bambu Runcing Parakan, maka sampai pendatang dari luar jawa datang meminta di do’akan oleh Kyai subkhi dan juga menyepuhkan Bambu Runcing untuk berjaga-jaga melawan penjajah. Tidak hanya Bambu Runcing saja yang disepuh, tetapi plintingan ( ketapel ) juga disepuh. Mereka juga ada yang ikut latihan fisik bersama Hizbullah untuk membentengi diri dengan kekuatan lahiriyahnya.
2.      Drs. H. Rahmat Imam Puro (Santri KH. Ali)
Rahmat imampuro merupakan saksi hidup terjadinya peristiwa Bambu Runcing. Beliau adalah santri Kyai Muhammad Ali yang pernah merasakan sebagai tukang kebun pondok selama 5-6 tahun (1943-1949M). Beliau menuturkan bahwa Kyai Subkhi merupakan seorang tokoh ulama kuno yang memang benar-benar berjuang menegakkan syari’at islam dan juga benar-benar mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi. Itu dibuktikan dengan banyak para pejuang islam Indonesia yang meminta di doakan agar mendapat restu untuk melawan penjajah.
Begitu luar biasanya cerita Bambu Runcing tersebut, sampai di Parakan diberi perlakuan khusus oleh PTKAI memberikan kereta luar biasa (KLB), itu untuk memfasilitasi orang-orang yang datang keParakan saking banyaknya. Dengan banyaknya tamu yang datang bahkan memberikan berkah kepada santri dan penduduk sekitar, mereka ikut mejual Bambu Runcing, nasi manis, dan juga ada yang membuka warung dan penginapan. Bambu yang diambil untuk dijadikan Bambu Runcing yang bertuah diambil dari daerah Ngadirejo. Ukuran Bambu tidak terlalu besar tetapi hanya sebesar gagang sapu. Adapun rumah yang digunakan untuk penginapan para tamu itu rumah yang sederhana tetapi dihuni sampai 30 orang untuk sekali sewa.

3.      Ja’far (cucu KH. Subkhi)
Menurut Kyai ja’far, Kyai Subkhi meninggalkan keris, tombak dan juga Alqur’an tulisan tangan yang dibawa oleh kedua putra beliau, Ir. Hamim (Jakarta) dan Suyono (Surabaya). Adapun peninggalan yang berupa rumah tempat tinggal sekarang dihuni oleh Kyai Ja’far yang menjadi cucunya Kyai Subkhi.
Berita tentang ada seorang Kyai yang bisa menyepuh  Bambu Runcing ternyata terdengar oleh Belanda, maka dari itu Belanda kemudian melakukan penyisiran terhadap daerah Parakan, yang kemudian mencari orang yang namanya Kyai Subkhi untuk ditangkap. Dan pada akhirnya ternyata Allah masih memberi hidayahnya. Ada seseorang yang datang untuk menyepuhkan Bambu dan kemudian memberitahukan kepada Kyai Subkhi bahwa ada sekelompok Belanda yang sedang mencari beliau, awalnya Kyai Subkhi tidak serta-merta bergegas untuk bersembunyi, tetapi orang itu mengatakan bahwa Belanda yang datang itu adalah orang-orang yang kejam maka demi keselamatan Kyai Subkhi langsung lari ke daerah pegunungan dan kemudian singgah di desa Ngaren, beliau kemudian bersembunyi dirumahnya K Syafi’I.
Pada saat Belanda menyergap rumah Kyai Subkhi, mereka hanya menemukan Kyai Abdurrahman putra Kyai Subkhi, dan tanpa ampun kemudian Belandapun menembak Kyai Abdurrahman dengan sangat sadis, tetapi Belanda sempat terkecoh dengan keadaan tersebut, dikira yang mereka bunuh adalah Kyai Subkhi, maka mereka pun bersukaria dan menggembar-gemborkan bahwa mereka telah berhasil membunuh Kyai Subkhi. Sampai sekarang Kyai Abdurrahman yang tertembak itu dinobatkan sebagai salah satu pahlawan nasional karena telah gugur dalam membela tanah air. Adapun makamnya terletak persis didekat makam Kyai Subkhi.
4.      Nyai Sakdiyah
Nyai Sakdiyah Adalah istri dari Kyai Muhammad Ali, Nyai Sakdiyah (94 tahun) mendampingi selama 25 tahun sebelum Kyai Ali meninggal dunia pada tahun 1956 M. Kyai Ali sendiri merupakan seorang ulama’ yang memiliki pesantren yang satu-satunya di Parakan, riwayat pendidikan Kyai Ali adalah pernah mondok di Pondok Pesantren di Termas, Rembang, Ploso,  dan Nglirab (Kebumen).
5.      Muh Brito (90 tahun)
Muh Brito kini berumur 90 tahun, berasal dari Dusun Ponggok, Rambeanak, Mungkid  Kabupaten Magelang beliau anggota Hizbullah menceritakan bahwa pada masa Jepang beliau sering melihat bambu runcing, terbuat dari bambu wulung warna hitam yang di angkut untuk di bawa ke Parakan. Bambu runcing di bawa dari daerah Gulon dan Blabak Magelang untuk di sepuhkan ke Parakan.
6.      Kiai Hisyam (85 tahun)
Pengalaman sama juga di ceritakan oleh Kiai Hisyam dari Gulon Kecamatan Salam Magelang,  kiai yang juga anggota Hizbullah ini menyampaikan menyaksikan banyaknya bamboo runcing yang di bawa ke Parakan, bahkan beliau juga menceritakan bahwa yang di sepuh bukan hanya Bambu runcing tetapi juga bambu kecil ukuran tuding untuk belajar mengaji. (Alat tersebut yang di sebut sujen).  Kiai Hisyam juga menceritakan bahwa orang-orang yang datang ke Parakan juga mengadakan pengisian tenaga dalam.
7.      Subali (Veteran Berumur 88)
Memasuki  bulan Oktober setiap tahunnya, ingatan Subali (88) seakan diputar ke masa 65 tahun silam saat meletus pertempuran antara pemuda Semarang melawan tentara Jepang pada 14-19 Oktober 1945.  Subali adalah salah satu pelaku dari peristiwa yang kemudian dikenal dengan Pertempuran Lima Hari di Semarang. 
Kakek 12 cucu ini ini termasuk salah seorang yang lolos dari maut saat Jepang menyerang Lawangsewu yang kala itu dijadikan markas Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) pada 15 Oktober sekitar pukul 03.00. Dia bersama puluhan pemuda AMKA, BKR dan Polisi Istimewa berjuang mati-matian mempertahankan Lawangsewu dari serbuan tentara Jepang bersenjatakan lengkap.  ’’Kebanyakan dari kami hanya menggunakan bambu runcing. Mereka yang menggunakan senjata api adalah polisi istimewa dan tentara,’’ kata Subali.  Selain bambu runcing, Subali sendiri membawa keris pusaka warisan sang ayah saat ikut bertempur. Jalannya pertempuran di pagi buta tersebut digambarkannya begitu sengit.  Beliau anggota Paguyuban Pelaku Pertempuran Lima Hari di Semarang ini[37].
8. Karto Supono/Sumowono kelahiran 1923
            Pelaku perang Ambarawa, pernah bertugas pada pertahanan di Silembu Ambarawa dan Alastuwo Semarang, juga pernah mengikuti gerilya Jendral Sudirman.
            Gaman Makan Tuan: istilah yang di berikan untuk menggambarkan betapa Jepang telah melatih Sinendan dan Keybodan tetapi ternyata anak-anak dan pemuda yang dilatih justru melawan setelah Indonesia merdeka. Pada saat dilatih perang oleh Jepang peralatan yang di gunakan untuk berlatih adalah bambu runcing.
            Senjata bambu runcing digunakan pada saat setelah proklamasi kemerdekaan (tahun tahun Clas 1 dan 2 senjata modern sudah banyak di miliki). Pada saat masyarakat Indonesia belum memiliki senjata.  Senjata-senjata di mintakan doa kepada kiai di Parakan dan di Solo. Orang berbondong-bondong datang ke Parakan, di sana di tata secara berurutan satu per satu maju membawa 2 senjata bambu runcing dan sujen. Bambu runcing digunakan untuk perang, sadangkan kayu kecil sebesar jari, digunakan untuk penolak hama. Sebagian juga ke Solo (dekat masjid) di sana setelah diberi doa langsung di coba dengan pedang.
            Siapa kiai yang di Solo dan Parakan yang memberi  doa Bapak Karto tidak tahu, yang jelas orang sangat banyak datang ke parakan, menggunakan kendaraan rampasan. Pak Karto dan teman-temannya juga naik truk rampasan. Sebagian orang tidak naik kendaraan sampai Parakan, tetapi hanya sampai di Temanggung, selanjutnya orang-orang berjalan menuju Parakan. Jalan-jalan menuju parakan penuh orang membawa bambu runcing.
            Apakah di Parakan member sesuatu kepada kiai? Tidak ada sesuatu yang di beriakan, semua tujuan sama untuk perjuangan. Tetapi di sepanjang jalan-jalan di Parakan ada orang-orang yang menjual bambu runcing yang sudah siap untuk di mintakan doa. Jadi tidak harus membawa sendiri.
Sudilah (istri Karto Supono) juga seorang pejuang dan anggota palang merah.
(Proses pemberian do’a di Parakan semua yang datang ke parakan membabawa bambu apus, secara berurutan maju menuju kepada tempat  kiai yang duduk agak tinggi, kiai memberi doa dengan menyebul pucuk bambu dan sujen, yang di tali jadi satu) 
PENUTUP
            Peralatan senjata tradisional yang digunakan para pejuang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekan Indonesia sebenarnya sangat beragam. Pada tahun itu di kenal senjata-senjata tradisional Bambu Runjing, Tombak, Keris, Ketapel, dan Sujen. Namun dari berbagai senjata tersebut yang kemudian menjadi symbol heroisme pada masa lalu hingga sekarang terutama perjuangan sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia adalah Bambu Runcing. Ketika di Parakan terjadi penyepuhan senjata, tidak hanya Bambu Runcing yang di berikan doa-doa, tetapi juga peralatan lain dan juga pengisian tenaga dalam.
            Dalam perjalanan sejarahnya upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan dalam bentuk perlawanan bersenjata, melibatkan hamper semua komponen bangsa. Perlawanan tersebut bersifat semesta dan total, diikuti berbagai kelompok masyarakat dan bersifat total strategi. Kebersamaan dan kebersatuan pada tahun-tahun 1945 masih sangat kuat. Kalaupun terjadi perbedaan-perbedaan lebih kepada perbedaan strategi perang dan gerilya. Namun munculnya tokoh-tokoh besar baik para pemimpin nasional maupun dari kalangan ormas Agama, dan pesantren, mampu menjadi obor perjuangan kemana arah perjuangan sedang menuju. Itulah sebabnya persatuan masih terjaga dengan baik.
            Dalam hamper semua perjuangan senjata, para kiai dan senjata Bambu Runcing hadir dan menjadi pengawal perjuangan. Terbunuhnya Jendral Mallaby panglima tentara Inggris yang mati dengan senjata bayonet dan tusukan Bambu Runcing, menjadi bukti kehadiran tersebut. Dengan berbagai kekurangan dan keterbatasan penelitian ini, beberapa kesimpulan dari focus pertanyaan penelitian, maka peneliti mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1        Pencetus gerakan perjuangan dengan senjata bambu runcing, dalam pengertian sebagai senjata perjuangan yang bersifat massal dan nasional, sampai saat ini memang belumlah sangat jelas. Senjata Bambu Runcing pernah di pakai latihan ketentaraan Seinendan pada zaman Jepang. Tetapi khusus penggunaan senjata Bambu Runcing dengan doa, pengisian tenaga dalam, memang hal ini secara tegas dapat dikatakan, di mulai dai Parakan, Temanggung. Siapa para kiai yang terlibat ada beragam pandangan. Namun semua mengerucut kepada kedua tokoh penting di Parakan yakni KH. Subkhi (Subuki) dan KH.R Sumo Gunardo, dan para kiai lain di Parakan dan Temanggung seperti KH. M Ali (pengasuh pesantren tertua di Parakan), KH. Abdurrahman, KH. Nawawi, KH. Istakhori dan kelanjutannya juga KH. Mandzur dari Temanggung dan berbagai kiai di NU Temangggung, khususnya MWC Parakan.
2        Senjata bambu runcing Bambu Runcing di gunakan sebagai alat perjuangan, berangkat dari ketiadaan, kekurangan peralatan perang yang tersedia, sementara perjuangan harus di lajutkan terutama setelah Indonesia meredeka. Musuh Indonesia setelah proklamasi menjadi sangat banyak dan dengan kekuatan besar, Jepang yang masih bercokol, Belanda yang ingin menguasai lagi dan Sekutu yang juga akan menjajah menggantikan Jepang dan Belanda. Maka praktis, keperluan persenjataan yang di butuhkan. Bambu Runcing dan peralatan tradisional lain menjadi alternatif, murah dan bisa bersiaft massal. Kekuatan doa menjadi faktor utama kekuatan alat-alat tradisional tersebut.
3. Ternyata dalam realitas sejarah, perjuangan dengan menggunakan senjata bambu runcing, terjadi pada hampir semua medan perang. Lasykar-lasykar rakyat BKR, AMRI, Hizbullah, Sabilillah dan sebagainya yang terlibat pada pertempuran di berbagai peristiwa, menggunakan senjata Bambu Runcing sebagai senjata utama, sebelum mereka mampu merebut senjata musuh.
4. Peninggalan-peninggalan sejarah Bambu Runcing khusus yang berhubungan dengan Bambu Runcing Parakan bisa di lacak ke tempat, atau para kiai yang pernah terlibat dalam berbagai peristiwa Bambu Runcing. Sampai sekarang Rumah KH. Subkhi masih berdiri dan berbagai peninggalannya, Rumah KH. R Sumo Gunardo masih adan juga beberapa peninggalanya, ada yang di Museum Monjali (Monumen Jogja Kembali), Pondok Pesantren KH. M. Ali sampai sekarang masih berdiri dan terus berkembang. Bekas kantor BMT dan pusat penyepuhan walaupun telah berubah, namun jejak-jejaknya masih ada. Dan khusus sumur yang sering di ambil airnya untuk penyepuan Bambu Runcing juga masih ada. Khusus di Temanggung bahkan tempat Kiai Mandzur di kenal dengan Mujahidin, samapi sekarang menjadi pusat kegiatan Tarekat.    
Perjuangan bersenjata yang melibatkan senjata Bambu Runcing oleh berbagai lasykar rakyat dalam perjuangan kemerdekaan sangat jelas dan nyata. Bahkan selama masa setelah Proklamasi Kemerdekaan dengan musuh utama Jepang, Belanda dan Sekuta, di mana pada saat itu bangsa Indonesia belum memiliki cukup senjata, maka Bambu Runcing menjadi senjata missal rakyat Indonesia. Kepemlikan senjata modern oleh rakyat, setelah mampu merebut dari senjata musuh terutama dari Jepang yang telah menyerah.
Mencermati berbagai temuan penelitian seperti diuraikan pada seluruh laporan penelitian ini, maka peneliti memberikan saran dan rekomendasi sebagai berikut:
1.      Penelitian ini masih sangat dasar untuk suatu sejarah yang melibatkan perjuangan umat Islam, khususnya yang melibatkan Kiai dan Bambu Runcing, dan dari segi bwaktu juga masih terbatas tahun 1945. Sehingga perlu di adakan penelitian lanjutan yang berskala besar dan nasional tentang peran serta Umat Islam dan Perjuangan perang kemerdekaan yang memanjang antara 1945-1950.
2.      Hendaknya Balitbang Agama menjadi pelopor untuk memperhatikan para pahlawan dan Veteran yang pernah terlibat dalam perjuangan. Beberapa veteran memang ada yang sudah mendapatkan legalitas veteran, namun ada yang belum mendapatkan, karena merasa Ikhlas berjuang, tidak perlu mengurus. Pada tokoh yang demikian hendak ada perhatian.
3.      Khusus terkait KH. Subkhi, KH. Sumogunardho, KH. M. Ali dan KH. Nawawi jika mungkin Kementerian Agama melalui Balitbang Agama mengusulkan untuk mendapatkan gelar sebagai pahlawan kemerdekaan. Selama ini yang mendapatkan gelar baru KH. Abdurrahman putra KH. Subkhi yang mati di brondong peluru oleh Belanda.
Demikian penelitian ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin untuk menjadi penelitian yang baik, namun kekurangan terjadi pada banyak hal, seperti narasumber masih terbatas, dari segi waktu sangat pendek, dan sebagainya. Semua ini pasti mengurangi kualitas hasil penelitian.  Tetapi semoga tetap bermanfaat.

Daftar Pusataka

A.H Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 1, Penerbit Angkasa, Bandung.
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, PT. Salamadani Semesta Utama, Bandung,  2010.
A.M Suryanegara, Menemukan Sejarah, Mizan, Bandung, 1995, Hlm 300-306
Ahmad Adaby Darban, Kaum Santri Melawan Kolonial: Dari Hizbullah hingga Angkatan Perang Sabil (APS) di Jogjakarta, Disampaikan pada Forum Diskusi dan Pameran 60 Tahun Indonesia Merdeka dalam Dalam Lintasan Sejarah Di Kampus Itb Bandung, 11-12 Agustus 2005.
Asmiyatun, Perjuangan Rakyat Magelang Dalam Mepertahankan Kemerdekaan Tahun 1947-1949, Unnes, 2005
Buku 30 tahun Indonesia Merdeka, PT. Citra Lamtoro Gung, Jakarta, 1986
Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Grafity Press, Jakarta, 1985
Istakcori Sam’ani, “Sejarah Barisan Bambu Runcing, Barisan Muslimin Temanggung, 1995.
Muhaiminan KH, Cuplikan Sejarah “Bambu Runcing”. Kota Kembang, Yogyakarta, 1986.
Marwati Djoened Poesponegara, Sejarah Nasional Indonesia VI, Balai Pustaka, Depdikbud, 1993
Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional VI, Balai Pustaka, Jakarta.
Sartono Kartodirjo Dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Depdikbud, 1975.
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900 Dari Emporium sampai Imperium, Jilid I, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,1999.
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994.
Kuntowijoyo. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1995
Syaifuddin Zuhri KH, “Guruku Orang Pesantren” Pn Al-Ma’arif Bandung, 1974, Hlm 213
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982. hlm. 43
Hunianiora IVl1997
Suara Merdeka , 10 OKTOBER 2010
Kedaulatan Rakyat, 1945
Kedaulatan Rakyat, 6 Desember 1945
www.wisatanet.com
http://www.tourismsleman.com
http://gommu.wordpress.com
http://virmanlibrianto.wordpress.com
http://www.pondokpesantren.net
(http://gp-ansor.org/?p=1267)
http://ahmadfathulbari.multiply.com
Wawancara September 2010
Wawancara tgl 13 Oktober 2010
M. Mas’ud Adnan, Resolusi Jihad Dalam Peristiwa 10 November. http://jawapos.com
Pesantren, Kemerdekaan dan Keindonesiaan, Oleh: Agus Muhammad
Khoirul Anam, Mengenang Resolusi Jihad 21-22 Oktober 1945, Nu Online.
INFORMAN

  1. KH. MUHAMINAN
  2. Kyai Nuruddin (Veteran)
  3. Drs. H. Rahmat Imam Puro (Santri KH. Ali)
  4. Ja’far (cucu KH. Subkhi)
  5. Nyai Sakdiyah
  6. Muh Brito (90 tahun)
  7. Kiai Hisyam (85 tahun)
  8. Subali (Veteran Berumur 88)
  9. Karto Supono/Sumowono kelahiran 1923


[1] Bahan Diskusi pada Seminar hasil penelitian,2010, di hotel Pandanaran Semarang, 21 – Oktober 2010
[2] Sartono Kartodirjo Dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Depdikbud, 1975.

[3] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900 Dari Emporium sampai Imperium, Jilid I, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,1999.

[4] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994.

[5] Kuntowijoyo. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1995

[6] AM Suryonegoro, , Menemukan Sejarah, Mizan, Bandung 1995.

[7] Syaifuddin Zuhri KH, “Guruku Orang Pesantren” Pn Al-Ma’arif Bandung, 1974, Hlm 213
[8] www.wisatanet.com
[9] http://www.tourismsleman.com
[10] http://gommu.wordpress.com
[11] http://gommu.wordpress.com
[12] Boland B.J, Pergumulan Islam di Indonesia, Grafity Press, Jakarta, 1985
[13] Ibid
[14] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, PT. Salamadani Semesta Utama, Bandung,  2010.
[15] Ibid, hlm 162
[16] A.H Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 1, Penerbit Angkasa, Bandung.
[17] http://ahmadfathulbari.multiply.com
[18] Ahmad Adaby Darban, Kaum Santri Melawan Kolonial: Dari Hizbullah hingga Angkatan Perang Sabil (APS) di Jogjakarta, Disampaikan pada Forum Diskusi dan Pameran 60 Tahun Indonesia Merdeka dalam Dalam Lintasan Sejarah Di Kampus Itb Bandung, 11-12 Agustus 2005.

[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] M. Mas’ud Adnan, Resolusi Jihad Dalam Peristiwa 10 November. http://jawapos.com

[23] Ibid,baca juga Pesantren, Kemerdekaan dan Keindonesiaan, Oleh: Agus Muhammad http://www.pondokpesantren.net
[24] Ibid
[25] (http://gp-ansor.org/?p=1267)
[26] AM. Suryanegara, Api Islam 2, Salamadai Pustaka Semesta, Bandung, 2010, hlm. 202
[27] Kedaulatan Rakyat, 1945
[28] Ibid
[29] Kedaulatan Rakyat, 6 Desember 1945
[30] Khoirul Anam, Mengenang Resolusi Jihad 21-22 Oktober 1945, Nu Online.
[31] Marwati Djoened Poesponegara, Sejarah Nasional Indonesia VI, Balai Pustaka, Depdikbud, 1993, hlm. 107-108
[32] Ibid
[33] Istakhori Sam’ani, ibid.
[34] Wawancara September 2010
[35] Wawancara tgl 13 Oktober 2010
[36] Syaifuddin Zuhri, Guruku Orang Pesantren, Al.Maarif Bandung, 1974, hlm 214-18
[37] Suara Merdeka , 10 OKTOBER 2010